Kita
menyadari bahwa alam semesta dan jagad raya tidak akan terwujud begitu saja
tanpa adanya tujuan yang jelas untuk apa mereka diciptakan. Demikian pula
ketika kita merenungi tentang keberadaan manusia di muka bumi, pastilah akan
muncul pertanyaan dalam diri kita seperti,
‘Untuk tujuan apa bumi ini dijejali oleh 2 milyar jiwa manusia?’ atau
yang lebih sederhana lagi, ’Untuk apa manusia diciptakan?’
Ini adalah pertanyaan
lumrah, dan manusia pun berusaha menjawabnya dari waktu ke waktu demi mencapai
kebahagiaan hidup dan ketentraman jiwa. Dari proses menjawab pertanyaan
tersebut, muncullah berbagai paham, isme-isme dan berbagai hasil karya pikir
manusia.
Antara Ajaran Allah (Tauhid) dan
Ajaran Iblis (Syirik)
Anehnya, berbagai produk
pikir manusia untuk menjawab tentang keberadaan mereka dimuka bumi, justru
semakin bertabrakan dengan sifat fitrah mereka sebagai makhluk ciptaan Allah.
Bahkan, tak jarang hasil pemikiran itu menggerus hak-hak Allah terhadap
manusia.
Agama Kristen misalnya,
mereka melihat manusia sebagai anak-anak Allah yang menimbulkan konsekuensi,
setiap penganut agama Kristen tidak perlu takut akan dosa atau neraka. Karena
mereka beranggapan bahwa dosa mereka telah tertebus dengan memasuki agama
Kristen. Konsepsi ketuhanan dalam tradisi Kristen pun begitu membingungkan
dengan munculnya keyakinan trinitas, tiga tuhan dalam satu tubuh manusia.
Demikian pula dengan
tradisi Hindu yang meyakini adanya berbagai tuhan yang mengendalikan manusia.
Anehnya, eksistensi ketuhanan tersebut tidak lepas dari sifat-sifat manusia
yang sangat tidak tepat jika disematkan kepada Tuhan. Seperti kasus menikahnya
Dewa-Dewa dengan manusia, yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi di tempat
pertapaan layaknya sebuah prosesi zina yang takut jika ketahuan.[1]
Ketika zaman telah
berganti dan manusia mulai semakin berpikir kritis, muncullah agama dan
isme-isme baru produk pikir manusia, yang pada akhirnya juga mendestruksi sifat
fitrah manusia, dan—secara lancang—merusak hak-hak Allah ta’ala terhadap
manusia.
Tersebutlah agama-agama
seperti Liberalisme yang memandang bahwa manusia memiliki kebebasan mutlak
untuk menentukan pilihannya, yang berkonsekuensi pada pemahaman yang menihilkan
kekuasaan dan pilihan Ilahi atas diri manusia. Dari pemahaman liberalis inilah,
muncul Komunisme yang begitu lancangnya menghilangkan keberadaan Allah ta’ala
di alam semesta ini.
Dari rahim liberalisme
ini pula, lahir Kapitalisme, yang memandang bahwa kekuasaan dan harkat martabat
manusia dilihat dari seberapa besar modal yang ia miliki. Selain itu, muncul
pula agama Demokrasi yang memandang bahwa suara manusia (rakyat) adalah suara Tuhan, yang berkonsekuensi pada
hancurnya tatanan hukum Allah, untuk diganti dengan tatanan hukum kesepakatan
manusia.
Dengan kata lain,
Demokrasi justru mempertuhankan manusia. Seandainya kita mau sedikit merenungi
hal ini, kita akan menemukan adanya keterkaitan antara agama-agama baru
tersebut.
Demikianlah, kita dapat
melihat adanya panggung kesesatan yang dipertontonkan oleh pola pikir manusia
yang tidak dibimbing wahyu Ilahi. Dengan kata lain, mereka hanya
terombang-ambing oleh nafsu. Untuk kemudian disesatkan oleh ajaran-ajaran
Iblis.
Seandainya mereka mau
melihat bagaimana Allah ta’ala memberi petunjuk yang menjawab tentang tujuan
diciptakannya manusia di muka bumi, pastilah mereka akan menemukan kebahagiaan
hidup dan ketenangan jiwa dalam perlindungan Sang Pencipta manusia.
Kita dapat mencermati
petunjuk-Nya dalam Islam, yakni firman-Nya:
Aku tidak menciptakan jin dan
manusia kecuali supaya mereka mengabdikan hidupnya (beribadah) kepada-Ku” (Adz-Dzâriyât:
56)
Subhanallah! Sebuah jawaban yang jelas
lagi menyelesaikan perdebatan yang berlangsung selama berabad-abad, yang
menunjukkan sebuah jurang perbedaan nyata antara ajaran Allah yang mengajarkan
adanya prinsip Tauhid[2],
yang memberikan porsi yang semestinya terhadap hubungan timbal balik antara
Allah ta’ala dengan manusia dan ajaran Iblis yang memberikan konsep-konsep
rusak yang menghancurkan hubungan antara Allah ta’ala dengan manusia.
Berkenaan dengan hal
tersebut, Rasulullah bersabda, sebagaimana yang
disebutkan oleh Mu’adz bin Jabal a,
“Aku membonceng Nabi n
diatas seekor keledai. Beliau berkata kepadaku, “Wahai Mu’adz, tahukah kamu apa
hak Allah atas hamba-hamba-Nya dan apa hak hamba-hamba-Nya atas Allah?’ Aku
menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahuinya’. Maka Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa salam bersabda, ‘Hak Allah atas hamba-Nya adalah
hendaklah mereka beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya.
Adapun hak hamba atas Allah adalah bahwa Allah tidak meng-adzab siapa saja yang
tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya’….”(H.R
Bukhari-Muslim)
Sebuah jawaban tegas
bahwa kita diberi hak hidup oleh Allah ta’ala, hanya demi mengabdi kepada-Nya
dan menyerah-bakti kan seluruh umur kita untuk menjalankan segala keinginan dan
perintah-Nya.
Untuk inilah kita
diciptakan dan demi tujuan inilah dunia dan alam semesta diadakan, sebagai
sarana untuk mendukung pelaksanaan tugas ibadah ini. Bukan justru menjadikan
dunia sebagai sesuatu yang disembah.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dia-lah Allah, yang menjadikan
segala yang ada di bumi untuk (sarana ibadah) kamu dan Dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit dan Dia Maha Mengetahui
segala sesuatu”.
(Al-Baqarah [2]: 29)
“Hai manusia, sesungguhnya janji
Allah adalah benar, Maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan
kamu dan sekali-kali janganlah syaithan yang pandai menipu, memperdayakan kamu
tentang Allah”.
(Faathir [35]: 5)
Dari uraian di atas,
jelaslah bagi kita perbedaan antara ajaran Allah, yakni tauhid dengan ajaran
Iblis yaitu syirik, kita pun dapat dengan mudah
mencermati bahwa modus ajaran Iblis paling tidak adalah hal-hal berikut:
- Melecehkan hak-hak Allah ta’ala
Seringkali terbagi ke dalam dua
bentuk:
-
Mempersekutukan Allah dalam
hak-hak-Nya serta asma’ dan shifat-Nya.
-
Meniadakan keberadaan Allah ta’ala
- Menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan
Umumnya terwujud dengan adanya
eksploitasi nafsu dan kesombongan manusia. Hal inilah terwujud pada anggapan
bahwa manusia adalah segala-galanya, sehingga memunculkan pemahaman seperti
liberalisme, Demokrasi, Komunisme dan sebagainya.
- Menjadikan dunia sebagai sesembahan
- Melalaikan hari Pembalasan-Nya
Dakwah Tauhid, Kewajiban Ilahiah
Demikianlah, kita telah melihat
adanya jurang permusuhan yang lebar antara ajaran Ilahi dan ajaran Iblis,
antara tauhid dan syirik. Antara satu dengan yang lain saling berusaha untuk
memenangi pertempuran abadi ini. Ajaran syirik dan kekafiran yang dibawa oleh
Iblis berusaha keras menyesatkan manusia, sedangkan ajaran Tauhid berusaha
keras menyelamatkan manusia dari kesesatan.
Salah satu wilayah
pertarungan yang paling menentukan adalah medan dakwah. Oleh sebab itu, inti
dakwah para Rasul yang diutus oleh Allah l adalah sebagaimana yang tercantum
dalam firman-Nya:
“Dan sesungguhnya kami telah mengutus Rasul
pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Mengabdilah kepada Allah (saja) dan
jauhilah Thaghut itu’.”
(An-Nahl
[16]: 36)
…‘Sembahlah Allah (saja), dan
jauhilah Thaghut’ Ayat ini secara tegas menunjukkan standar
keselamatan hidup di dunia dan akhirat, yakni dengan mengabdi kepada Allah
semata dan membenci, memusuhi serta menjauhi thaghut.[3] Sikap tersebut juga menjadi standar keislaman
seseorang. Oleh sebab itu, keislaman seseorang belum sah, kecuali ia menjauhi thaghut
dan hanya mengabdikan dirinya pada Allahlsaja.
Ajaran dakwah inilah yang
membagi manusia menjadi dua jenis, penghuni surga dan penghuni neraka, orang
muslim dan orang kafir, ahlu tauhid dan ahlu syirik. Ajaran dakwah inilah yang
dijiwai oleh kalimat Lâ ilâha Illa Allah. Sebuah kalimat yang
membatalkan segala bentuk ilah yang berhak diibadahi secara benar,
kecuali hanya Allah saja.
Sebagai seorang muslim,
kita dituntut oleh syariat dan Sang Pembuat Syariat untuk meresapi ajaran
tauhid dan mendakwahkan tauhid hingga syari’at Allah tegak di muka bumi.
Kewajiban ini tidak bisa lepas dari kita, bahkan walaupun kita hanya mampu
menyampaikan satu kalimat dari ajaran Islam.
Rasulullah bersabda, “Sampaikan
dariku walaupun hanya satu ayat” (al-hadits). Inilah kewajiban kita,
menyampaikan ajaran Allah ta’ala walaupun hanya satu ayat. Karena seluruh
sistem moral, akhlak, budaya, tradisi, ekonomi dan politik yang ada pada Islam
berlandaskan pada ajaran Allah, ajaran Tauhid.
Dakwah Tauhid, Sebuah Realitas
Kita telah memahami bahwa ajaran tauhid
(Laa ilaaha illallaah)
ini disepakati oleh semua Rasul, kita pun memahami bahwa dakwah tauhid adalah
dakwah yang akan membelah manusia menjadi dua; para pendukung ajaran/syariat
Allah atau para pendukung ajaran/syariat Iblis.
Hal ini juga terwujud
dalam sikap dan perilaku manusianya, bagi pengikut ajaran tauhid pastilah akan
tampak sikap yang jelas dalam menyikapi fenomena kehidupan di sekitarnya. Dia
seorang manusia yang mudah membebek dan asal-ikut dengan berbagai
produk akal pikir manusia, baik berupa kepercayaan, tradisi, budaya, gaya
hidup, sistem politik, ekonomi, norma sosial atau yang lainnya.
Dirinya pasti akan selalu
bertanya, “Bagaimana Islam bersikap tentang hal ini?” Pilihannya selalu
kepada Islam, bukan yang lain. Sikap ini menuntunnya untuk selalu mencintai
ilmu dan ulama, sekaligus bersikap tegas dan bertawakal kepada Allah dalam
mengamalkan ilmu yang ia miliki.
Tak heran, jika benturan
demi benturan pun terjadi dalam dakwah tauhid. Benturan antara seseorang atau
sekelompok orang dan lingkungannya yang tidak islami, atau dengan kesesatan
yang sebelumnya ia yakini, atau dengan hawa nafsu yang sebelumnya ia ikuti
dengan penuh kenyamanan.
Oleh sebab itu, menjadi
satu hal yang wajib agar setiap muslim sekaligus da’i ajaran tauhid, untuk
tetap sabar-tsabat dan bertawakal kepada Allah ta’ala. Pada saat yang
sama ia juga harus menunjukkan sikap dan akhlak seorang da’i semampunya,
seperti shiddiq baik dalam perkataan dan perbuatan, sabar, tawadhu’, juga
bersikap adil dengan tetap berpijak pada kebenaran baik terhadap kawan atau
lawan.
Hal ini penting karena
dakwah tauhid hendaknya diemban dengan serius, bukan dengan bermain-main, bukan
pula menjadi ajang klaim keshalehan tanpa bersikap adil terhadap umat
manusia. (sumber: Majalah Ansharut Tauhid ed.2)
[1] Madza Khasiral ‘Alam bil Inkhithaatil Muslimin oleh Abul Hasan
An-Nadwi
[2] Prinsip Meng-Esa-kan Allah dalam segala bentuk ibadah, baik yang
bersifat ritual, tradisi dan budaya, maupun tatanan kesejahteraan hidup
manusia, yang meliputi tatanan sosial-ekonomi, politik dan keamanan.
[3] Sebagaimana tercantum pada edisi sebelumnya, thaghut adalah
segala sesuatu yang disembah selain Allah baik itu manusia, jin/setan, patung,
dukun, isme-isme, hukum buatan, pembuat hukum selain Allah dan sebagainya.-edt
0 komentar:
Posting Komentar