Senin, 18 Juni 2012

Upaya Menegarakan Islam


Islam adalah agama bimbingan, pemerintahan, politik dan hukum, sebab apa yang dibawa Islam atau missi Islam ialah memperbaiki umat manusia dalam segala aspek kehidupannya (seperti ideology, politik, ekonomi, sosial, hukum, pendidikan, dan militer, pen.)  Oleh karena itu sudah barang tentu memerlukan pemerintahan, pegangan, hukum yang adil dan tegaknya kebenaran, juga memerlukan perlengkapan untuk mempertahankan agama dan Negara.[1]
Alloh telah memerintahkan agar tindakan hendaklah bersifat social (  kejama’ahan atau dalam konteks gerakan disebut dengan amal jama’i ).  Dia memerintahkan agar orang muslim berbuat kebajikan secara bersama sebagai satu ummat.  PerintahNya: “Hendaklah ada di antara kamu satu umat yang menyeru kepada kebaikan, memerintahkan berbuat ma’ruf dan mencegah segala bentuk kemungkaran.  Mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS. 3/ 104).  Tak pelak lagi, bahwa ketentuan Islam mesti dilaksanakan oleh kaum muslimin secara bersama sebagai satu ummat.  Quran berbicara tentang kaum muslimin hampir senantiasa berbentuk jamak.   Maka jelaslah bahwa Islam memerlukan Negara dan tak dapat berbuat tanpa itu.  Seperti dikatakan oleh Muhammad iqbal, Negara merupakan pernyataan spiritualitas Islam, perwujudan spiritualitas itu dalam ruang dan waktu.  Segi terpenting hijrah ialah terciptanya Negara Islami.  Negara adalah tujuan hijrah, dan hijrah merupakan puncak persiapan dan pengislaman laki-laki dan perempuan serta perjanjian aqobah.[2]
Syaikh Ibnu Taymiyah rohimahullah berkata: “Bahwa sesungguhnya tugas dan kewajiban yang paling utama bagi agama adalah mengatur masyarakat, akan tetapi missi ini tidak akan tegak tanpa adanya Negara.  Oleh sebab itu, Allah memerintahkan amar makruf nahi mungkar, mengajak kepada kebajikan dan melarang segala bentuk kemungkaran, menolong orang-orang yang tertindas dan teraniaya, termasuk juga kewajiban yang tak kalah pentingnya adalah menjunjung tinggi kebenaran dan menegakkan keadilan dengan memberikan sangsi-sangsi hukum terhadap pelaku tindak pidana dan kriminalitas.  Semuanya itu tak mungkin terlaksana dengan baik dan terarah tanpa adanya kekuasaan yang diatur dalam bentuk pemerintahan.”  Dengan demikian mendirikan Negara Islam merupakan perkara penting demi tegaknya hukum-hukum (syari’at) Islam di bumi ini.[3]
Contoh praktis dari hal ini adalah daulah ilmaniyah (Negara sekuler) yang didirikan Mustapha Kamal at Taturk di Turki (selepas dihancurkannya Khilafah Utsmaniyyah tahun 1924, pen.) yang dipaksakan dengan tangan besi, api dan darah terhadap semua rakyat turki yang beragama Islam, setelah membungkam Khilafah Utsmaniyah, yang notabenenya adalah benteng politik terakhir bagi dunia Islam setelah sekian lama bergelut melawan salibisme dan zionisme internasional.
Jalal Al Alam menyatkan dalam bukunya “ Dammirul Islam wa ‘Abidu Ahlahu “ bahwa strategi untuk menghancurkan Islam adalah menghancurkan pemerintahan Islam dengan cara meruntuhkan Khilafah Islamiyah yang direpresentasikan Khilafah Turki Utsmany . Maka perjanjian yang dibuat di Lausanne pada 20 Nopember 1922 antara Mustafa Kemal At taturk dengan pihak Inggris berisi antar lain adalah komitmen untuk menghancurkan Kekhalifahan Utsmany dan memutuskan hubungan dalam hal apapun antara Turki dengan Islam . Dua tahun kemudian Khilafah Utsmani diberangus dan sampai hari ini Turki tetap menjadi Negara Sekuler dan selalu memusuhi apapun yang berbau Islam .
Kemudian pemerintahan lain di dunia Islam meniru Turki yang baru dengan kadar yang berbeda-beda, sehingga Islam disingkirkan dari hukum dan perundang-undangan mengenai masalah tindak pidana, perdata dan lain-lainnya.  Islam dibatasi pada kondisi individual. Islam tidak boleh ikut campur dan mempengaruhi dunia pengajaran dan pendidikan, serta masalah-masalah sosial kecuali masalah-masalah yang remeh.  Sebaliknya, untuk tuntunan dari dunia barat dibukakan pintu selebar-lebarnya.[4]
Bahkan Pakistan yang didirikan oleh Muhammad Ali Jinah, para pemimpinnya walaupun sering kali meneriakkan Negara Islam, tetapi karena pendidikan dan jiwa mereka telah berkarat dengan pengaruh kebudayaan barat, maka gambaran yang tertanam dalam benak mereka tentang Negara hanyalah Negara yang bertumpu atas dasar kebangsaan saja (nasionalistik)[5]  Artinya, bahwa pengaruh barat dalam paradigma kenegaraan terhadap kaum muslimin sudah sedemikian kuatnya.  Kita tahu, Pakistan atau india adalah sama-sama bekas tanah jajahan inggris.  Konon sampai hari ini loyalitas Negara-negara mantan jajahan inggris terhadap Britania raya (The Great Britain) terus dilestarikan dalam wadah Commonwealth (Persemakmuran).
Di Indonesia, pertarungan Islam dengan nasionalisme sudah dimulai sejak era pergerakan.  Serikat Islam (yang lahir tahun 1905 dengan nama Serikat Dagang Islam) dan menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia adalah gerakan ummat Islam pertama yang menghasung ideology Islam (atau Pan Islamiet sebagaimana yang disebut oleh HOS Tjokroaminoto, pen.).  Di kalangan nasionalis lahirlah PNI (Partai Nasional Indonesia) dengan terlebih dahulu lahir kelompok-kelompok kesukuan/ etnik sentrik seperti Jong Java, Jong Celebes, dan lain-lainnya.  Serta tak kalah pentingnya peran Budi Utomo (lahir 1908), yang mewariskan ajaran kejawen.  Pertarungan ideologis ini semakin mengental pada masa-masa menjelang kemerdekaan.
Pada tanggal 9 april 1945, Badan penyelidik usaha-usaha persiapan kemerdekaan (BPUUPK) atau Dokuitsu Zyunbi Tyoosakai dibentuk, untuk kemudian dilantik oleh pemerintahan militer pendudukan jepang pada tanggal 28 mei 1945.  Hal ini adalah tindak lanjut dari janji Perdana Mentri Jepang, Koiso, yang disampaikan dalam sebuah pidatonya pada bulan September 1944 di Jepang.  Janjinya adalah akan memerdekakan Indonesia di kemudian hari.  Ketua BPUUPK adalah Dr. Rajiman Widyaningrat, seorang tokoh penganut kejawen.  Anggota-anggota BPUUPK semula 60 orang, kemudian menjadi 68 orang, dilihat dari sudut perimbangan ideology politik, menurut pengamatan Prawoto Mangkusasmito, hanya sekitar 20% saja dari jumlah tersebut yang benar-benar mewakili aspirasi politik kelompok Islam.  Sedangkan 80% mewakili aspirasi nasionalisme yang dalam hal ini adalah kelompok yang tidak mau membawa ideologi Islam dalam urusan kenegaraan.  Sedangkan yang dimaksud dengan aspirasi politik kelompok Islam adalah diusulkannya Islam sebagai dasar filsofis Negara yang hendak didirikan.  Bagi mereka Islam itu serba lengkap, meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia.[6]
Setelah bergumul selama lebih kurang 21 hari, akhirnya pada 22 juni 1945 suatu sintesis dan kompromi politik berhasil diwujudkan antara dua pola pemikiran yang berbeda itu.  Sintesis ini yang kemudian dikenal dengan nama Piagam Jakarta (Jakarta Charter).  Dalam piagam ini Pancasila diterima sebagai dasar Negara dengan perubahan letak.  Sila ketuhanan disamping ditempatkan sebagai sila mahkota (pertama) juga diberi anak kalimat pengiring: “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.  “ Kompromi politik ini hanya mampu bertahan selama 57 hari, karena demi ‘persatuan bangsa’ anak kalimat itu dicoret pada tanggal 18 agustus 1945.[7]
Inilah pengkhianatan pertama kaum nasionalis terhadap ummat Islam di Indonesia yang kemudian dilanjutkan dengan upaya-upaya marginalisasi, intimidasi, dan tak jarang dilakukan pembrangusan setiap potensi-potensi kekuatan Islam.  Mulai dari pembantaian gerakan DI/ TII – NII di Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan serta penangkapan pemimpin-pemimpin partai masyumi oleh rezim Sukarno.  Kasus Tanjung Priok, Talangsari-Lampung, Haur Koneng, Sampang dan banyak kasus penculikan dan pembunuhan para ustadz di Banyuwangi, penangkapan aktivitas Usroh, kasus Imron, Operasi Khusus Ali Murtopo bagi mantan tokoh-tokoh DI, penerapan daerah operasi militer di Aceh serta banyak lagi lainnya yang terjadi selama rezim ‘kejawen’ Suharto.  Pemerintahan nasionalis selanjutnya (rezim Habibie dan Abdurrahman Wahid) atas nama demokrasi pun tidak mampu melindungi darah dan jiwa umat Islam di Aceh, Kupang, Timor-timur, Ambon, Tual, Halmahera, Sambas, Poso, Sampit kemudian Kapuas; entah mana lagi nanti.
Jelaslah, kaum muslimin tidak akan dapat hidup tentram selama pemerintahan Islam belum tegak.  Selain muslim tidak ada yang dapat dipercaya untuk memelihara kebebasan aqidah, keadilan, hak dan kemaslahatan.  Karena itu, keIslaman seorang muslim selalu terus menerus terancam bahaya bila berada di bawah pemerintahan kafir.  Dan hidupnya terpaksa harus taat kepada pemerintahan kafir tersebut sampai pada masalah kemaksiatan sekalipun.[8]
Namun ada fenomena ganjil yang menyimpang, yakni adanya kelompok yang berpendapat  bahwa perpecahan ummat yang terjadi diakibatkan pada pemilihan tataran politik sebagai lahan perjuangan . Kemudian mengambil sikap apriori terhadap segala sesuatu yang berbau politik .
Ummat tak boleh berjuang dan bergerak untuk mencita-citakan Negara Islam karena negri seperti Indonesia hari ini adalah Darul Islam maka pemerintahnya adalah Ulil Amri yang wajib dita’ati setiap orang beriman sehingga mengkritisi apalagi melawannya adalah tindakan kelompok Takfiry dan Khawarij . Kita sulit memahami kebengkokan jalan berfikir mereka , padahal di negri ini pernah ada gerakan DI / TII ( 1949 – 1962 ) yang konon memperjuangkan berdirinya Negara Islam Indonesia tapi diperangi habis-habisan oleh pemerintahan yang menganut ideologi  sama dengan pemerintahan sekarang ini . Pun dengan wadah yang sama yaitu NKRI ! Artinya , sangat mustahil pemerintahan ini mau diidentikkan dengan Negara Islam , tapi kenapa kita sibuk mencari – cari pembenaran syar’i dan menyimpangkan dalil Qur-an dan Sunnah bahwa Indonesia termasuk Negara Islam ? Astaghfirullah . . . !
Mestinya , kita berusaha meluruskan pemerintahan yang ada dengan Al Qur-an dan As Sunnah dan bukan malah membengkokkan dalil untuk mendapatkan kesukaan pemerintah . Karena pada hakekatnya dengan sikap menjilat seperti itu , justru kita tidak memiliki belas kasihan kepada diri kita dan orang – orang di pemerintahan . Kalau kita mengibaratkan negara seperti perahu besar bangsa ini maka nakhkoda dan para mualimnya harus segera diingatkan akan kesesatan jalan yang ditempuh . Dengan pengetahuan kita akan dalil , jelas tergambar akibat buruk yang akan diterima bangsa ini . Wajar kalau kita bodoh dan awam yang tidak mengerti dalil tapi kalau kita mengaku bahagian dari orang ‘alim dalam ulumuddin namun tidak mengingatkan mereka , bukankah ini sikap pengkhianatan terhadap ilmu yang Alloh turunkan ?
Imam Bukhari rohimahulloh meriwayatkan dari Ubadah bin As Shamit rodhiyallohu ‘anhu tentang baiat kepada pimpinan kaum muslimin :
“Dan agar kami tidak merampas urusan (kekuasaan) dari yang berhak, Rasulullah saw.
bersabda: Kecuali bila kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, sedangkan kalian memiliki bukti yang kuat di sisi Allah”.
Dengan demikian tidak diperkenankan kaum muslimin memiliki negara dengan asas selain Islam, baik itu sekularisme, kapitalisme, demokrasi, sosialisme, komunisme, nasionalisme, atau paham apapun yang bukan Islam. Khalifah atau Pemimpin yang dibaiat kaum muslimin sebagai kepala negara, wajib menerapkan syariat Islam sebagai bukti ketaatan kepada Allah SWT yang telah memerintahkan hal itu dalam firman-Nya:
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan". (QS. An-Nisaa' [4]: 65)
Juga firman-Nya:
"Dan hendaklah kamu hukumi di antara mereka dengan Apa yang turunkan kepadamu. Dan janganlah kalian mengikuti kemauan mereka. Hati-hatilah terhadap mereka, agar mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian yang telah diturunkan Allah kepadamu." (QS. Al-Maidah [5]:49)

Garis pemisah antara orang – orang Islam dengan orang – orang musyrik adalah bahwa kaum musyrikin tidak menentang Rubbubiyatulloh yang mengandung keyakinan Alloh Subhanahu wa Ta’ala sebagai Pencipta , Pemilik , Penguasa atau apapun yang tersimpul dalam makna Ar Rabb namun mereka menentang kalau peribadatan ditegakkan hanya untuk Alloh saja . Dimana hakekat penting peribadatan itu tersimpul dalam dua hal , yakni at Tho’ah wat Tahakum ( kepatuhan dan berhukum ) . At Tho’ah dalam pengertian sebagai sikap setiap individu yang harus mengikatkan diri pada kepasrahan dan kerendahan di hadapan Alloh Azza wa Jalla sedangkan At Tahakum adalah sikap manusia sebagai komunitas social dalam berbagai tingkat dan bagian untuk menjadikan Syari’at Alloh sebagai satu-satunya hukum yang berlaku pada mereka . Intinya , kita ingin menggambarkan bahwa peribadatan tidak bisa hanya dianggap sebagai hubungan kepada Al Kholiq semata namun peribadatan juga mencangkup urusan hidup kebersamaan dalam sebuah masyarakat .
Akal yang waras tidak akan pernah berfikir bahwa manusia dalam kehidupannya bisa dipisahkan jatidirinya sebagai individu yang memiliki kepribadian dengan kebersamaannya dalam sebuah komunitas sosialnya . Walaupun ada perbedaan implikasi hukum pada wilayah privat dan wilayah publiknya .
Disinilah , keberadaan pemikiran sekelompok orang yang menganggap ajaran Islam hanya mengatur wilayah privat dalam aspek hukumnya adalah sebuah penyimpangan dari sebuah kelainan jatidiri . Sebut saja , orang – orang yang terbaratkan ini , selalu ngotot dengan cara apapun agar kaum muslimin tidak mengupayakan wujudnya praktek pengamalan Islam yang komprehensip . Bagi mereka , formalitas apalagi substansi Diinul Islam dalam kehidupan masyarakat adalah bahaya laten yang harus disingkirkan . Ada ungkapan sombong dari kelompok sesat ini , bahwa kalangan yang patuh dalam beragama dan mereka sebut kaum fundamentalis sama sekali tidak memiliki nalar intelektual sehingga mereka selalu meremehkan orang – orang yang ‘fanatik’ dalam beragama .
Jadi, kalau kelompok yang merasa paling tahu Islam ( ashabul ilmi wa ahlul haqq )  menuduh para pejuang Syari’at Islam sebagai kalangan Khawarij dan Ruwaibidhoh ( dangkal dan bodoh dalam memahami Islam ) maka - setali tiga uang – kelompok yang terbaratkan dan merasa paling mengerti peradaban menuduh pejuang Syari’at Islam sebagai kaum Fundamentalis dan tidak intelek ( terpelajar ) . Dua kelompok yang sepertinya bertentangan ini bertemu dalam satu muara kepentingan yakni langgengnya kekuasaan sekuler yang bukan saja menolak masuknya Diinul Islam dalam praktek kenegaraan tapi juga secara aktif selalu memerangi ideology Jihad dan kaum Mujahidin .
 Maka tak ada jalan lain , para Pejuang Syari’at harus mengambil jalan untuk menegarakan Islam dengan cara sunnah dan tidak boleh melanggar batas – batas syar’i  serta tidak takut celaan orang – orang yang suka mencela . Jangan karena takut celaan dan tuduhan , akhirnya kita kita mengorbankan prinsip – prinsip Islam demi meraih kursi dan posisi seraya bermimpi sedang mengislamisasi Negara . Dengan cara terakhir ini , Islam hanya nampak pada  aspek kultural tapi sudak kosong dari substansi , yakni tauhid . Akhirnya ummat Islam membesarkan system bernegara yang jahiliyah dengan baju Islam . Wallohu A’lam !  (sumber: MAT ed.6)


[1] Muhammad Rasyid Ridho, Wahyu Ilahi kepada Muhammad saw, Pustaka Jaya Jakarta, Cet. Ke II/ 1987, hal. 461
[2] Ismail Raji’ Al Faruqi, Hakekat Hijrah, Mizan Bandung, Cet. Ke III / th. 1415/ 1994 , hal. 30-32
[3] DR. Abdul Karim Zaidan, Politik Islam, Konsepsi dan Dokumentasi, PT Bina Ilmu Surabaya, Cet. I/1987, Hal. 126-127
[4] Ibid, hal 20
[5] Syaikh Abul A’la Al Maududi, Proses Pembentukan Negara dalam Islam, Pustaka LSI Yogyakarta, Cet.I/ 1990, hal. 20
[6] Dr. Ahmad Syafi’I Ma’arif, Islam dan Politik – Teori Belah Bambu Gema Insani Press Jakarta, Cet. I/ 1996, hal 26-27
[7] Ibid, hal. 29
[8] Syaikh Said Hawwa, Al Islam 04, Al Ishlahy Press Jakarta, Cet. Ke … tanpa tahun, hal.5

Minggu, 17 Juni 2012

DAKWAH TAUHID Tuntutan dan Realitanya



Kita menyadari bahwa alam semesta dan jagad raya tidak akan terwujud begitu saja tanpa adanya tujuan yang jelas untuk apa mereka diciptakan. Demikian pula ketika kita merenungi tentang keberadaan manusia di muka bumi, pastilah akan muncul pertanyaan dalam diri kita seperti,  ‘Untuk tujuan apa bumi ini dijejali oleh 2 milyar jiwa manusia?’ atau yang lebih sederhana lagi, ’Untuk apa manusia diciptakan?’
Ini adalah pertanyaan lumrah, dan manusia pun berusaha menjawabnya dari waktu ke waktu demi mencapai kebahagiaan hidup dan ketentraman jiwa. Dari proses menjawab pertanyaan tersebut, muncullah berbagai paham, isme-isme dan berbagai hasil karya pikir manusia.
Antara Ajaran Allah (Tauhid) dan Ajaran Iblis (Syirik)
Anehnya, berbagai produk pikir manusia untuk menjawab tentang keberadaan mereka dimuka bumi, justru semakin bertabrakan dengan sifat fitrah mereka sebagai makhluk ciptaan Allah. Bahkan, tak jarang hasil pemikiran itu menggerus hak-hak Allah terhadap manusia.
Agama Kristen misalnya, mereka melihat manusia sebagai anak-anak Allah yang menimbulkan konsekuensi, setiap penganut agama Kristen tidak perlu takut akan dosa atau neraka. Karena mereka beranggapan bahwa dosa mereka telah tertebus dengan memasuki agama Kristen. Konsepsi ketuhanan dalam tradisi Kristen pun begitu membingungkan dengan munculnya keyakinan trinitas, tiga tuhan dalam satu tubuh manusia.
Demikian pula dengan tradisi Hindu yang meyakini adanya berbagai tuhan yang mengendalikan manusia. Anehnya, eksistensi ketuhanan tersebut tidak lepas dari sifat-sifat manusia yang sangat tidak tepat jika disematkan kepada Tuhan. Seperti kasus menikahnya Dewa-Dewa dengan manusia, yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi di tempat pertapaan layaknya sebuah prosesi zina yang takut jika ketahuan.[1]
Ketika zaman telah berganti dan manusia mulai semakin berpikir kritis, muncullah agama dan isme-isme baru produk pikir manusia, yang pada akhirnya juga mendestruksi sifat fitrah manusia, dan—secara lancang—merusak hak-hak Allah ta’ala terhadap manusia.
Tersebutlah agama-agama seperti Liberalisme yang memandang bahwa manusia memiliki kebebasan mutlak untuk menentukan pilihannya, yang berkonsekuensi pada pemahaman yang menihilkan kekuasaan dan pilihan Ilahi atas diri manusia. Dari pemahaman liberalis inilah, muncul Komunisme yang begitu lancangnya menghilangkan keberadaan Allah ta’ala di alam semesta ini.
Dari rahim liberalisme ini pula, lahir Kapitalisme, yang memandang bahwa kekuasaan dan harkat martabat manusia dilihat dari seberapa besar modal yang ia miliki. Selain itu, muncul pula agama Demokrasi yang memandang bahwa suara manusia (rakyat)  adalah suara Tuhan, yang berkonsekuensi pada hancurnya tatanan hukum Allah, untuk diganti dengan tatanan hukum kesepakatan manusia.
Dengan kata lain, Demokrasi justru mempertuhankan manusia. Seandainya kita mau sedikit merenungi hal ini, kita akan menemukan adanya keterkaitan antara agama-agama baru tersebut.
Demikianlah, kita dapat melihat adanya panggung kesesatan yang dipertontonkan oleh pola pikir manusia yang tidak dibimbing wahyu Ilahi. Dengan kata lain, mereka hanya terombang-ambing oleh nafsu. Untuk kemudian disesatkan oleh ajaran-ajaran Iblis.
Seandainya mereka mau melihat bagaimana Allah ta’ala memberi petunjuk yang menjawab tentang tujuan diciptakannya manusia di muka bumi, pastilah mereka akan menemukan kebahagiaan hidup dan ketenangan jiwa dalam perlindungan Sang Pencipta manusia.
Kita dapat mencermati petunjuk-Nya dalam Islam, yakni firman-Nya:
Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka mengabdikan hidupnya (beribadah) kepada-Ku” (Adz-Dzâriyât: 56)
Subhanallah! Sebuah jawaban yang jelas lagi menyelesaikan perdebatan yang berlangsung selama berabad-abad, yang menunjukkan sebuah jurang perbedaan nyata antara ajaran Allah yang mengajarkan adanya prinsip Tauhid[2], yang memberikan porsi yang semestinya terhadap hubungan timbal balik antara Allah ta’ala dengan manusia dan ajaran Iblis yang memberikan konsep-konsep rusak yang menghancurkan hubungan antara Allah ta’ala dengan manusia.
Berkenaan dengan hal tersebut, Rasulullah bersabda, sebagaimana yang disebutkan oleh Mu’adz bin Jabal a, “Aku membonceng Nabi n diatas seekor keledai. Beliau berkata kepadaku, “Wahai Mu’adz, tahukah kamu apa hak Allah atas hamba-hamba-Nya dan apa hak hamba-hamba-Nya atas Allah?’ Aku menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahuinya’. Maka Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa salam bersabda, ‘Hak Allah atas hamba-Nya adalah hendaklah mereka beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya. Adapun hak hamba atas Allah adalah bahwa Allah tidak meng-adzab siapa saja yang tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya’….”(H.R Bukhari-Muslim)
Sebuah jawaban tegas bahwa kita diberi hak hidup oleh Allah ta’ala, hanya demi mengabdi kepada-Nya dan menyerah-bakti kan seluruh umur kita untuk menjalankan segala keinginan dan perintah-Nya.
Untuk inilah kita diciptakan dan demi tujuan inilah dunia dan alam semesta diadakan, sebagai sarana untuk mendukung pelaksanaan tugas ibadah ini. Bukan justru menjadikan dunia sebagai sesuatu yang disembah.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk (sarana ibadah) kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”. (Al-Baqarah [2]: 29)
“Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaithan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah”. (Faathir [35]: 5)
Dari uraian di atas, jelaslah bagi kita perbedaan antara ajaran Allah, yakni tauhid dengan ajaran Iblis yaitu syirik, kita pun dapat dengan mudah  mencermati bahwa modus ajaran Iblis paling tidak adalah hal-hal berikut:
  1. Melecehkan hak-hak Allah ta’ala
Seringkali terbagi ke dalam dua bentuk:
-          Mempersekutukan Allah dalam hak-hak-Nya serta asma’ dan shifat-Nya.
-          Meniadakan keberadaan Allah ta’ala
  1. Menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan
Umumnya terwujud dengan adanya eksploitasi nafsu dan kesombongan manusia. Hal inilah terwujud pada anggapan bahwa manusia adalah segala-galanya, sehingga memunculkan pemahaman seperti liberalisme, Demokrasi, Komunisme dan sebagainya.
  1. Menjadikan dunia sebagai sesembahan
  2. Melalaikan hari Pembalasan-Nya
Dakwah Tauhid, Kewajiban Ilahiah
Demikianlah, kita telah melihat adanya jurang permusuhan yang lebar antara ajaran Ilahi dan ajaran Iblis, antara tauhid dan syirik. Antara satu dengan yang lain saling berusaha untuk memenangi pertempuran abadi ini. Ajaran syirik dan kekafiran yang dibawa oleh Iblis berusaha keras menyesatkan manusia, sedangkan ajaran Tauhid berusaha keras menyelamatkan manusia dari kesesatan.
Salah satu wilayah pertarungan yang paling menentukan adalah medan dakwah. Oleh sebab itu, inti dakwah para Rasul yang diutus oleh Allah l adalah sebagaimana yang tercantum dalam firman-Nya:
 “Dan sesungguhnya kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Mengabdilah kepada Allah (saja) dan jauhilah Thaghut itu’.” (An-Nahl [16]: 36)
‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut’ Ayat ini secara tegas menunjukkan standar keselamatan hidup di dunia dan akhirat, yakni dengan mengabdi kepada Allah semata dan membenci, memusuhi serta menjauhi thaghut.[3] Sikap tersebut juga menjadi standar keislaman seseorang. Oleh sebab itu, keislaman seseorang belum sah, kecuali ia menjauhi thaghut dan hanya mengabdikan dirinya pada Allahlsaja.
Ajaran dakwah inilah yang membagi manusia menjadi dua jenis, penghuni surga dan penghuni neraka, orang muslim dan orang kafir, ahlu tauhid dan ahlu syirik. Ajaran dakwah inilah yang dijiwai oleh kalimat Lâ ilâha Illa Allah. Sebuah kalimat yang membatalkan segala bentuk ilah yang berhak diibadahi secara benar, kecuali hanya Allah saja.
Sebagai seorang muslim, kita dituntut oleh syariat dan Sang Pembuat Syariat untuk meresapi ajaran tauhid dan mendakwahkan tauhid hingga syari’at Allah tegak di muka bumi. Kewajiban ini tidak bisa lepas dari kita, bahkan walaupun kita hanya mampu menyampaikan satu kalimat dari ajaran Islam.
Rasulullah bersabda, “Sampaikan dariku walaupun hanya satu ayat” (al-hadits). Inilah kewajiban kita, menyampaikan ajaran Allah ta’ala walaupun hanya satu ayat. Karena seluruh sistem moral, akhlak, budaya, tradisi, ekonomi dan politik yang ada pada Islam berlandaskan pada ajaran Allah, ajaran Tauhid.
Dakwah Tauhid, Sebuah Realitas
Kita telah memahami bahwa ajaran tauhid (Laa ilaaha illallaah) ini disepakati oleh semua Rasul, kita pun memahami bahwa dakwah tauhid adalah dakwah yang akan membelah manusia menjadi dua; para pendukung ajaran/syariat Allah atau para pendukung ajaran/syariat Iblis.
Hal ini juga terwujud dalam sikap dan perilaku manusianya, bagi pengikut ajaran tauhid pastilah akan tampak sikap yang jelas dalam menyikapi fenomena kehidupan di sekitarnya. Dia seorang manusia yang mudah membebek dan asal-ikut dengan berbagai produk akal pikir manusia, baik berupa kepercayaan, tradisi, budaya, gaya hidup, sistem politik, ekonomi, norma sosial atau yang lainnya.
Dirinya pasti akan selalu bertanya, “Bagaimana Islam bersikap tentang hal ini?” Pilihannya selalu kepada Islam, bukan yang lain. Sikap ini menuntunnya untuk selalu mencintai ilmu dan ulama, sekaligus bersikap tegas dan bertawakal kepada Allah dalam mengamalkan ilmu yang ia miliki.
Tak heran, jika benturan demi benturan pun terjadi dalam dakwah tauhid. Benturan antara seseorang atau sekelompok orang dan lingkungannya yang tidak islami, atau dengan kesesatan yang sebelumnya ia yakini, atau dengan hawa nafsu yang sebelumnya ia ikuti dengan penuh kenyamanan.
Oleh sebab itu, menjadi satu hal yang wajib agar setiap muslim sekaligus da’i ajaran tauhid, untuk tetap sabar-tsabat dan bertawakal kepada Allah ta’ala. Pada saat yang sama ia juga harus menunjukkan sikap dan akhlak seorang da’i semampunya, seperti shiddiq baik dalam perkataan dan perbuatan, sabar, tawadhu’, juga bersikap adil dengan tetap berpijak pada kebenaran baik terhadap kawan atau lawan.
Hal ini penting karena dakwah tauhid hendaknya diemban dengan serius, bukan dengan bermain-main, bukan pula menjadi ajang klaim keshalehan tanpa bersikap adil terhadap umat manusia. (sumber: Majalah Ansharut Tauhid ed.2)



[1] Madza Khasiral ‘Alam bil Inkhithaatil Muslimin oleh Abul Hasan An-Nadwi
[2] Prinsip Meng-Esa-kan Allah dalam segala bentuk ibadah, baik yang bersifat ritual, tradisi dan budaya, maupun tatanan kesejahteraan hidup manusia, yang meliputi tatanan sosial-ekonomi, politik dan keamanan.
[3] Sebagaimana tercantum pada edisi sebelumnya, thaghut adalah segala sesuatu yang disembah selain Allah baik itu manusia, jin/setan, patung, dukun, isme-isme, hukum buatan, pembuat hukum selain Allah dan sebagainya.-edt